Thumbelina (Bagian 3)

Tikus Tanah membawa sepotong sumbu dengan mulutnya. Sumbu itu bersinar dalam kegelapan. Ia berjalan di depan Tikus Sawah dan Thumbelina , menerangi mereka di lorong yang gelap itu. Ketika mereka tiba di tempat bangkai burung itu tergeletak, Tikus Tanah mengangkat hidung besarnya sampai menyentuh langit-langit. Gerakannya itu mengakibatkan timbulnya suatu lubang besar yang dapat dilalui cahaya.

Di tanah tergolek seekor burung layang-layang yang sudah tak bernyawa. Sayapnya yang indah lengket di tubuhnya. Kaki serta kepalanya tersembunyi di bawah bulunya. Burung malang itu pasti mati karena kedinginan. Melihat hal itu, Thumbelina merasa kasihan. Ia sayang kepada semua jenis burung kecil. Bukankah sepanjang musim panas mereka telah bernyanyi dan berkicau merdu untuknya?Tikus Tanah menyepak bangkai burung itu sambil berkata, “Dia sudah tidak dapat bernyanyi lagi. Ah! Alangkah sedihnya lahir sebagai seekor burung kecil. Syukurlah, anak-anakku nanti tak akan ada yang seperti burung ini. Burung kecil seperti ini hanya dapat bercuit-cuit dan akhirnya mati kelaparan bila musim dingin tiba.”

“Ya, kau benar! Kau memang pandai meramal! Burung itu mungkin mati karena lapar dan kedinginan tetapi setidaknya kicaunya benar-benar istimewa!” kata Tikus Sawah membenarkan.

Thumbelina tidak berkata apa-apa. Begitu kedua tikus itu membalikkan punggungnya, ia membungkuk, menyingkap bulu-bulu yang menutupi kepala si burung layang-layang. Ia mencium kedua matanya yang tertutup. “Barangkali, burng inilah yang telah bernyanyi merdu untukku selama musim panas,” kata Thumbelina pada dirinya sendiri. “Betapa besarnya kegembiraan yang telah kau berikan, wahai, Burung yang cantik!”

Tikus Tanah kemudian menyumbat lubang cahaya itu. Thumbelina dan Tikus Sawah mengantarkan Tikus Tanah sampai ke tempat tinggalnya.

Malam harinya, Thumbelina tidak dapat tidur. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menganyam sebuah selimut yang indah dari jerami untuk si burung yang mati. Setelah selesai, ia kembali ke lorong yang menghubungkan rumah Tikus Sawah dan Tikus Tanah. Sambil membawa sumbu yang menyala, ia menuju ke tempat bangkai burung layang-layang berada. Ketika sampai ke tempat bangkai burung itu tergeletak, segera diselimutinya sekeliling burung yang malang itu dengan selimut jerami dan sepotong kain yang dibawanya dari rumah Tikus Sawah. “Selamat tinggal, Burung kecil yang manis,” katanya kepada bangkai burung itu. “Selamat tinggal. Terima kasih untuk lagu-lagumu yang merdu selama musim panas ini di mana pohon-pohon menghijau dan matahari yang bersinar hangat.”

swallow-899079_1280

Thumbelina menyusupkan kepalanya di dada burung itu. Ia terkejut dan ketakutan karena dari dalam tubuh burung itu terdengar degup jantungnya. Burung itu belum mati, ia hanya beku. Kehangatan telah menghidupkannya kembali.

Setiap musim gugur datang, semua burung layang-layang beterbangan menuju negeri yang panas. Tetapi selalu ada burung yang tertinggal. Mereka kedinginan, lalu jatuh bagaikan mati, dan tetap berada di tempat mereka jatuh sampai salju turun.

Thumbelina menggigil ketakutan. Burung itu besar dan kuat. Sedangkain ia? Hanya sebesar ibu jari! Ia memberanikan diri. Dicarinya daun yang sering dipakainya sebagai selimut, lalu ditutupkannya daun itu pada kepala si burung.

Malam berikutnya, Thumbelina mendatangi burung itu lagi. Kini, burung itu nampak lebih hidup tetapi masih terlihat lemah. ia hanya mampu membuka matanya sekejap dan memandang Thumbelina yang berdiri di situ sambil memegang sepotong sumbu menyala sebagai obor, sebab ia tidak memiliki alat penerangan yang lain.

“Terima kasih, anak yang baik,” kata burung layang-layang itu pada Thumbelina, Suaranya sangat lemah. “Aku benar-benar merasa hangat. Sebentar lagi, aku akan bertambah kuat dan dapat terbang lagi dalam sinar matahari yang hangat.”

“Oh,” kata Thumbelina, “udara di luar sangat dingin. Salju turun dan membeku. Tinggallah saja di sini. Di sini hangat. Aku akan merawatmu.

Thumbelina membawakan air di dalam helai daun untuk burung itu. Burung itu meminumnya. Kemudian, burung itu bercerita tentang sayapnya yang tersangkut ranting dan luka sehingga ia tidak bisa terbang dan meneruskan perjalanan bersama burung-burung lainnya. Sementara kawan-kawannya telah pergi jauh ke negeri yang panas, ia jatuh ke tanah dan tak sadarkan diri. Burung itupun tidak ingat bagaimana ia dapat sampai ke tempat itu.

Sepanjang musim dingin itu, Thumbelina yang baik hati merawat burung layang-layang itu dengan penuh kesabaran. Kian hari, burung layang-layang itu terlihat semakin pulih.

Musim semi pun tiba. Matahari bersinar dengan cahayanya yang hangat. Burung layang-layang itu kini telah pulih kembali seperti sedia kala. Akhirnya, ia mengucapkan salam perpisahan kepada Thumbelina. Dibukanya lubang yang dibuat oleh Tikus Tanah. Matahari tampak sedang bersinar dengan cahayanya yang keemasan. Sebelum pergi, burung layang-layang itu bertanya kepada Thumbelina apakah Thumbelina tidak ingin pergi bersamanya? Jika Thumbelina mau, burung layang-layang membolehkan Thumbelina untuk duduk di punggungnya, dan mereka akan terbang ke hutan yang hijau. Tapi, Thumbelina menyadari, jika ia pergi begitu saja, tentu Tikus Sawah akan merasa sangat sedih.

“Tidak, aku tidak dapat pergi,” kata Thumbelina.

“Selamat tinggal, Gadis manis yang baik hati,” kata burung layang-layang sambil terbang menuju arah sinar matahari.

Thumbelina mengikuti kepergian burung layang-layang itu dengan pandangan matanya. Matanya menjadi basah karena ia sangat menyayangi burung layang-layang itu.

“Cuit! Cuit!” kicau burung itu, lalu menjauh menuju hutan yang hijau.

Thumbelina merasa sangat sedih. Ia bersedih karena tidak dapat pergi menikmati hangatnya sinar matahari. Gandum yang ditaburkan di ladang, di atas rumah Tikus Sawah, telah tumbuh tinggi. Ladang gandum itu kini bagaikan suatu hutan yang lebat bagi gadis mungil seperti Thumbelina yang hanya sebesar ibu jari.

 

(bersambung)

^_^

 

 

Leave a Comment