BOCAH PENABUH GENDERANG

Di bulan Desember yang dingin, sekitar abad ke 19, serombongan pasukan Perancis berbaris melintasi Pegunungan Alpen. Mereka bersenjatakan senapan dengan bayonet dan sepasukan kuda yang menyeret kira-kira 50-60 buah meriam. Perjalanan sangatlah sulit. Mereka harus melalui salju tebal setinggi lutut.  Belum lagi celah-celah pegunungan yang sempit dan licin dengan jurang-jurang sedalam ratusan kaki mengitarinya yang harus mereka lewati.

Para serdadu itu kurus-kurus dengan kantung mata yang berat karena mereka kurang makan dan tidur. Kuda-kuda yang menyeret meriam terjatuh hampir di setiap langkah.

Namun, seorang di antara mereka terlihat menikmati keadaan itu. Ia berjalan menyeret kakinya melewat salju tebal dan menembus kabut kelabu dingin dengan penuh semangat. Seperti sedang menikmati suatu perjalanan wisata saja.

Dia adalah bocah penabuh genderang, usianya baru 10 tahun. Serdadu termuda di pasukan itu, Wajahnya segar, pipinya kemerahan, senyumnya cerah, dan wajahnya cakap. Terlihat berbeda di antara para serdadu tua yang berwajah muram, meringis, dan menakutkan.

Terdengar suara lantang menyalaminya, “Bravo, Penabuh Genderang! Bravo, Pierre! Dengan musikmu, kita penuh semangat sampai ke Moskow!”

Si Bocah mengangkat topinya sebagai tanda hormat. Orang yang menyapanya tak lain adalah Sang Jenderal, Mac Donald, ‘Si Berani Mati’ julukannya, seorang serdadu paling berani di Perancis.

“Hidup Jenderal,” sahut para prajurit dari mulut ke mulut menimbulkan gema suara yang bersahutan.

Tapi, sebelum gema suara mereka berhenti, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Suara aneh itu asalnya dari sisi pegunungan yang putih dan tinggi. Lambat laun suara gemuruh terdengar makin keras, dan akhirnya menjadi raungan dalam dan serak.

“Menelungkuplah! Tanah longsor!” seru Sang jenderal.

Tapi, sebelum para prajurit sempat mematuhinya, reruntuhan sudah menimpa mereka. Melongsorlah gumpalan salju, menyapu jalan setapak bagaikan sebuah air terjun. Bersamanya, longsor pula batuan dan tanah. Sesemakan tercabut sampai ke akar-akarnya, dan bongkahan-bongkahan es yang besar dan dingin berjatuhan.

Sesaat lamanya suasana gelap seperti malam hari. Ketika peristiwa longsor itu telah lewat, banyak prajurit yang lenyap dari tempat mereka berdiri tadi. Ada yang tewas terseret melintasi tebing atau terkubur hidup-hidup dalam salju.

Yang langsung terlintas dalam pikiran Sang Jenderal adalah Pieere, Si Bocah Penabuh Genderang. Di mana gerangan ia?

Suasana hening tiba-tiba dipecahkan oleh suara genderang bertalu-talu di kejauhan. Yup, Si Bocah Penabuh Genderang! Tapi, di mana dia? Suara itu asalnya dari celah-celah karang gelap di dasar tebing. Suara genderangnya memacu semangat para prajurit kembali.

“Pierre masih hidup, Jenderal!” cetus seorang prajurit. “Ia terus memacu semangat kita!”

“Kita harus menolongnya,” sahut Sang Jenderal. “Kalau tidak, ia akan tewas membeku.”

“Jangan, Jenderal,” sahut serdadu lain. “Relakan dia. Kita jangan buang waktu. Kita lanjutkan perjalanan.”

‘Tidak. Serdaduku adalah anakku juga. Pierre telah menyalakan semangat para serdadu dengan genderangnya. Dia dalam kesulitan. Kita harus menolongnya.”

Para prajurit tak berani membantah perintah Sang Jenderal. Mereka melepas sejumlah tali meriam lalu menyambung menjadi satu. Satu ujungnya diikat ke tubuh  Sang Jenderal. Tali pun diulur ke bawah, ke tempat yang dingin, jauh di bawah sana.

Jenderal sudah menapakkan kaki di celah karang. Suara genderang berhenti tiba-tiba. Jenderal tak bisa mencari di mana anak itu berada.

“Pierre!” serunya sekuat tenaga, “Di mana kau?”

“Di sini, Jenderal,” sahut suara lemah, begitu lemahnya hingga hampir tak terdengar.

Dan di sanalah Si Bocah Genderang itu berada, setengah terkubur dalam gundukan salju lunak. Mac Donald segera menghampirinya. Setiap kali melangkah, ia harus menerjang salju setinggi pinggang. Akhirnya, Sang Jenderal sampai ke tempat Si Bocah Genderang itu berada.

“Nak, lingkarkan tanganmu ke tengkukku. Berpeganglah erat-era!t. Kita harus pergi dari sini!” Anak lelaki itu berusaha menaati perintah tapi, rupanya, kekuatannya telah habis.

Apa yang harus dilakukan? Beberapa menit lagi hawa ingin yang membekukan bisa membuat Si Penolong menjadi sama tidak berdayanya dengan yang hendak ditolong. Tapi, Jenderal Mac Donald bukan orang yang mudah menyerah. Disobeknya selempangnya, disimpulnya salah satu ujungnya ke tali. Lalu ia mengikat tubuh Pierre kuat-kuat dan memberi isyarat ke atas agar ditarik.

Sang Jenderal akhirnya berhasil menyelamatkan Pierre. Diusapnya tubuh bocah yang kedinginan itu agar hangat. Kata Jenderal padanya, “Pierre, kita telah alami panasnya perang dan dinginnya salju bersama-sama. Tak  ada yang dapat memisahkan kita lagi kecuali kematian.

Sang Jenderal memenuhi janjinya. Beberapa tahun kemudian, setelah perang usai, keduanya sering terlihat berjalan bersama di kebun, di sebuah rumah pedesaan yang sunyi di Perancis Selatan. Seorang lelaki tua bungkuk berambut putih, yang dulu termasyur dengan nama Marshal Mac Donald berjalan dituntun seorang serdadu muda berperawakan tegap. Serdadu itu adalah Pierre, yang dulunya terkenal sebagai Si Bocah Penabuh Genderang.

 

^_^

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *